PERTUMBUHAN PREMI (PROFIT) VERSUS SDM



PERTUMBUHAN PREMI (PROFIT) VERSUS
SUMBER DAYA MANUSIA


        I.            PENDAHULUAN
Indonesia kini menghadapi tantangan baru dalam memasuki era globalisasi. Di sisi lain permasalahan internal juga datang silih berganti, isu-isu yang sering muncul adalah adanya keinginan untuk melakukan perbaikan di segala bidang seperti ekonomi, politik, sosial, pertahanan dan keamanan.  Permasalahan dunia dan nasional juga semakin komplek,  salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan manusia seiring dengan ditemukannya faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja (labor), modal (capital), sumber daya fisik (physical recources), kewirausahaan (entrepreunership) dan sumber daya informasi (information resources) yang dapat menopang usaha dan memperbesar nilai barang/jasa. Juga metode-metode produksi yang bisa menghasilkan output yang tepat mutu (kualitas), tepat jumlah (kuantitas) dan tepat waktu dengan biaya yang rendah. Di lain pihak ketersediaan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan manusia semakin berkurang khususnya sumber daya alam baik komponen biotik seperti hewan, tumbuhan dan mikroorganisme maupun komponen abiotik seperti miyak bumi, gas alam, berbagai jenis logam, air dan tanah.
Selain itu dalam era globalisasi dan transparansi seperti sekarang ini persaingan antar pelaku-pelaku ekonomi semakin tajam dan sangat memprihatikan. Dengan alasan untuk kepentingan umum suatu sektor di monopoli oleh negara akan tetapi hasilnya justru hanya menguntungkan orang-orang tertentu atau kelompok tertentu saja. Banyak pelaku ekonomi pasar usaha besar mematikan pelaku usaha kecil yang merupakan saingannya. Contoh usaha waralaba yang terkenal yaitu Mc Donald, dulu untuk memiliki waralaba dengan merk tertentu harus memiliki modal besar untuk mendapatkan lisensinya, kini dengan modal kecil hal itu dapat diwujudkan. Sehingga tidak heran Mc Donald saat ini banyak ditemukan di pelosok-pelosok terpencil sampai tingkat kecamatan, padahal awalnya hanya ditemukan di daerah perkotaan. Khususnya di tingkat Asia, hal yang perlu diperhatikan adalah dengan diberlakukannya Asean Free Trade Area (AFTA) yaitu adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang pada tahun 2015 dari negara-negara ASEAN seperti Brunai Darussalam, Malaysia, Philippines, Singapura, Thailand, Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam yang bertujuan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Menjelang AFTA di 2015 persaingan bisnis menjadi sangat besar khususnya di Industri Asuransi, dimana asuransi lokal harus menghadapi persaingan bisnis dengan perusahaan asuransi asing yang melakukan ekspansi bisnis di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya peluang bisnis asuransi di Indonesia masih sangat besar dengan jumlah populasi yang besar yaitu sekitar 245 juta jiwa, masih banyak orang yang tidak memiliki asuransi karena tingkat kesadaran masyarakat untuk berasuransi masih tergolong rendah. Kondisi ini yang membuat penetrasi asuransi (jumlah premi dibanding dengan PDB) di Indonesia masih rendah yaitu hanya 1.67% (tahun 2011) dibandingkan Malaysia sebesar 4.8%.
Sementara itu saat ini di Indonesia jumlah pelaku asuransi dan reasuransi terbilang cukup banyak dibandingkan negara lain, ada sekitar 44 perusahaan asuransi jiwa, 82 asuransi umum dan 4 perusahaan reasuransi yang memiliki izin operasional. Hal ini memungkinkan juga betapa tajamnya persaingan antara pelaku bisnis ini untuk mendapatkan bisnis baru atau sekedar me-mantain bisnis yang sudah ada. Untuk lebih jelasnya penulis akan jelaskan pada bagian selanjutnya.

      II.            PERSAINGAN BISNIS YANG TIDAK SEHAT
Seperti yang telah dijelaskan diatas, banyaknya jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia menyebabkan semakin tajamnya persaingan bisnis antara perusahaan asuransi dan reasuransi tersebut. Hal ini diperparah dengan banyaknya pialang asuransi yang melebihi jumlah 160 perusahaan (terdaftar sebagai anggota Apparindo). Dapat dibayangkan betapa tajamnya persaingan bisnis tersebut. Namun disayangkan persaingan ini tidak disertai dengan praktek management risiko yang sehat. Contohnya pelaku asuransi tidak menahan premi dengan tingkat yang wajar (reasonable premium) terhadap suatu resiko, sehingga secara tehnik akan sangat merugikan bila terjadi klaim. Seharusnya resiko yang menimbulkan kemungkinan kerugian besar harus dikenakan premi yang wajar, bukan sebaliknya.
Praktek-praktek yang tidak sehat diantaranya:
-          Pemberian komisi yang diluar batas kewajaran bahkan melebihi setengah dari jumlah premi yang diberikan.
-          Penetapan premi yang sangat jauh dari premi minimum
-          Tingginya biaya akuisisi untuk memperoleh atau memelihara bisnis tersebut.
Sayangnya peraturan yang ada dari pemerintah kurang serius dalam pengawasan pelaksanaan bisnis-bisnis yang kurang sehat ini. Yang paling jelas tercermin kurang memadainya tingkat premi adalah class of business property, kedua class of business motor vehicle.

    III.            PERTUMBUHAN PREMI DAN PENINGKATAN PROFIT VERSUS SUMBER DAYA MANUSIA
Dari penjelasan diatas, tentunya perusahaan asuransi harus pintar-pintar menetapkan fokus bisnisnya,  apakah mengejar pertumbuhan premi tanpa memperdulikan keuntungan (profit) atau sebaliknya yaitu mengejar profit tanpa memfokuskan lebih banyak pada pertumbuhan premi. Yang paling ideal adalah mempertimbangkan kedua faktor tersebut, tapi tentunya kondisi ideal ini akan sulit dicapai karena kondisi ekonomi pada saat ini. Jika perusahaan asuransi mempertimbangkan profit sebagai fokus utamanya maka perusahaan asuransi tersebut harus membenahi dan melakukan pengetatan dalam segi akseptasi (underwriting) dari bisnis baru maupun renewalnya. Contohnya sebelum akseptasi, perusahaan asuransi harus melakukan survey untuk meniliti PML dari resiko tersebut untuk mengetahui kemungkinan terburuk dari resiko tersebut. Untuk kasus resiko kendaraan bermotor, harus meneliti pengalaman klaim, dimana kendaraan tersebut diparkir atau diletakkan. Perusahaan membutuhkan Sumber Daya Manusia di bidang underwriter yang kuat untuk dapat menganalisa resiko secara tepat dan akurat sehingga dapat meminimalkan kerugian. Dari contoh diatas bahwa sebelum akseptasi, seorang surveyor harus mengetahui dengan baik resiko yang akan ditutup melalui survey lapangan. Jika risiko dianggap high risk, maka underwriter harus dapat menganalisa berapa resiko yang layak ditahan oleh perusahaan asuransi, sehingga dibutuhkan kerjasama reasuransi untuk mem-back up excess dari resiko tersebut.  
Sebaliknya jika perusahaan memfokuskan pada pertumbuhan premi tentunya kebijakan underwritIng-nya harus diperlonggar karena jika tidak diperlongar maka akan terjadi kesulitan dalam melakukan pertumbuhan bisnis tersebut. Dengan kata lain perusahaan tersebut sulit bersaing untuk mendapatkan bisnis yang ada dipasaran saat ini. Selain itu perusahaan tersebut harus melakukan penetrasi market ke sumber-sumber yang lebih inovatif contohnya mengembangkan bisnis diluar dari apa yang dilakukan pesaingnya. Contoh kerjasama dengan pihak bank, media, LSM yang belum pernah dijamah. Perusahaan harus memperbanyak SDM di bidang marketing yang berpengalaman untuk melakukan penetrasi pasar.
Namun dengan diperlonggarnya kebijakan underwriting, dikhawatirkan resiko-resiko yang masuk menjadi tidak selektif, atau kualitasnya kurang bagus, rawan terjadi kerugian, hazardnya lebih tinggi karena tidak terpenuhinya prinsip asuransi yaitu utmost good faith dimana tertanggung tidak memberikan data-data yang cukup benar pada saat pengisian Surat Permohonan Penutupan Asuransi. (SPPA).
Berdasarkan dari kedua pendekatan tersebut masing-masing mempunyai kebaikan dan kelemahan. Kelemahan tersebut hanya dapat di minimalkan bila perusahaan memiliki sumber daya manusia yang tepat, baik dari segi tehnik maupun marketing khususnya cara memandang risiko itu sendiri mengingat aktivitas asuransi adalah memberikan proteksi terhadap risiko selain itu persaingan di industri asuransi cukup tinggi.
Persaingan di industri asuransi merupkan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Dalam menghadapi hal ini maka setiap perusahaan perlu meningkatkan sumber daya perusahaannya agar dapat bertahan selebihnya agar unggul dalam bersaing. Sumber daya perusahaan termasuk di dalamnya tenaga pemasaran dan tehnik merupakan komponen yang mendukung pertumbuhan premi dan peningkatan profit.
Pertumbuhan premi atau peningkatan profit dari penjualan produk asuransi sangat tergantung dari kemampuan menarik nasabah baru oleh karena itu perusahaan perlu menekankan pada aspek peningkatan kemampuan para tenaga penjualannya dengan tidak melupakan prinsip kehati-hatian dalam mengaksep suatu resiko.
   IV.            KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas maka yang baik adalah cerminan keduanya, yaitu tidak melupakan pertumbuhan premi tapi tetap memperhatikan underwriting yang prudent. Didukung oleh tenaga penjual atau pemasaran yang handal dan berpengalaman yang paham atau memahami bidang tehnik. Sehingga dengan keduanya terjadi peningkatan baik disisi atas (gross premi) maupun  net result disisi bawah.
Kondisi ideal ini sulit sekali dicapai dalam kondisi ekonomi dengan persaingan antar pelaku asuransi yang tajam. Persaingan rate mengakibatkan harga dari suatu resiko menjadi kecil padahal asuransi harus menanggung beban yang berat bila terjadi klaim.
Sedangkan bila perusahaan telah benar-benar melakukan seleksi resiko, kadang masih sering mendapat imbas dari suatu kerugian, karena berpartisipasi sebagai anggota (member) treaty dari suatu perusahaan asuransi yang mengalami kerugian.
Jadi sebenarnya dukungan tenaga penjual atau pemasaran yang handal dan berpengalaman yang paham atau memahami bidang tehnik belum dapat dijadikan acuan keberhasilan pertumbuhan premi atau peningkatan profit, sebelum kita memilih dengan benar perusahaan asuransi mana yang dapat dijadikan partner dalam kerjasama asuransi. Underwiriter harus jeli melihat siapa partner nya di perusahaan lain.
Contoh nyata di alami oleh PT. ABB tempat saya bekerja, underwriting yang prudent hanya bisa meminimal kerugian untuk penutupan direct dengan loss ratio kurang dari 10%, tapi loss ratio untuk bisnis indirect melebihi hampir 70% dari premi yang diperoleh. Akhirnya PT. ABB mulai melakukan seleksi terhadap underwriter dari asuransi lain untuk melihat keseriusan mereka menangani resiko.

SEKIAN

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Morf, Morfem, Alomorf, dan Kata

CODE SWITCHING, CODE MIXING, AND INTERFERENCE

Pengenalan Morfem (prinsip-prinsip pengenalan Morfem)